Di antara para petugas kepolisian yang berjaga-jaga di depan Istana Negara, ada seorang "petugas keamanan" yang bekerja sangat unik. Orang ini bukan polisi, melainkan pawang yang berupaya menurunkan hujan di sekitar Monumen Nasional.
Sambil mengangkat kedua tangannya, Bijai Marpaung, nama pawang asal Medan itu, memanjatkan doa-doa yang dibuatnya sendiri. "Kuruk... kuruk... kuruk... kuruk... kuruk.. kuruk... kuruk... kuruk," katanya berulang-ulang sambil menengadahkan kedua tangannya dari atas kepala hingga sujud menyentuh tikar plastik yang dikenakannya.
Begitulah cara Bijai Marpaung "bernegosiasi" kepada Sang Khalik. Ia berharap, "komunikasi" itu menghasilkan hujan pada saat pengunjuk rasa datang di depan Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Asal Anda tahu, sebelum memulai prosesi doa itu, pria 48 tahun tersebut terlebih dulu minta izin kepada Kepala Polda Metro Jaya Irjen Sutarman. "Pak Kapolda, saya pawang hujan. Mohon izin kiranya Bapak menginginkan hujan atau sebaliknya," kata Marpaung yang disambut ramah oleh Kapolda.
Sambil senyum-senyum, Sutarman menjawab agar Marpaung menurunkan hujan. "Biar enggak ada demo," ujar Marpaung menirukan permintaan Sutarman.
Benar saja, begitu para demonstran mulai mendatangi kawasan Monas, tepatnya di depan Istana Negara, Marpaung langsung beraksi. Sambil duduk di atas alas plastik berukuran 1 x 1,5 meter, ayah dua putra itu duduk bersila ditemani tongkat hitam di sebelah kirinya dan setengah gelas air susu dan sebotol air mineral. Inilah perlengkapan sederhana yang ia butuhkan selama menjalankan "tugas".
Sebetulnya masih ada syarat lain yang ia perlukan, tetapi itu hanya dipenuhi kalau ia disewa pihak tertentu dan dibayar. "Syaratnya, rokok Surya 16 dua bungkus dan korek api. Itu kalau orang minta buat hajatan," kata pawang yang pernah dibayar Rp 1,5 juta oleh seorang artis Ibu Kota tersebut.
Selama di Monas kali ini, Marpaung tidak mengharapkan imbalan uang. Namun, kalaupun ada orang yang ingin memberinya upah, laki-laki yang menekuni ilmu kepawangan sejak 1999 itu tidak akan menolak. "Waktu di Medan, saya sering jadi pawang di Polda dan Pangdam. Sudah enam generasi di sana," ceritanya kepada Kompas.com.
"Saya pernah ditangkap di sini (depan istana) tahun 2003, sebelum upacara 17-an. Dikira teroris, tapi sehari kemudian dilepas," tambahnya.
Marpaung yang kini hidup merantau tanpa sanak saudara tidak pernah menetap di satu tempat. Sejak setahun tinggal bersama kejamnya Ibu Kota, tidurnya berpindah-pindah. Kadang di masjid, kadang di stasiun. "Ini saya baru kehilangan dua handphone di Stasiun Senen," katanya menutup pembicaraan.
Boleh percaya atau tidak, sekitar pukul 11.10, gerimis hujan mulai turun di kawasan Monas. Padahal, sebelumnya cuaca cukup panas meski langit berangsur-angsur mendung.
kompas.com