Seorang ibu tua susah payah merangkak di tengah debu sambil meratap meminta obat. Tak jauh dari situ, seorang kakek hanya bisa menatap kosong saat tikus-tikus mendekatinya.
Mereka adalah bagian dari 85 penghuni suatu panti jompo di Kota Port-au-Prince, Haiti, yang tengah meregang nyawa beberapa hari setelah diguncang gempa bumi dahsyat.
Tidak ada makanan dan air bersih bagi mereka, padahal panti jompo itu hanya berjarak sekitar 1,5 km dari bandar udara, dimana bantuan logistik dan obat-obatan dari manca negara mulai menumpuk.
"Tolong saya, tolong saya," kata Mari-Ange Levee, Minggu 17 Januari 2010. Perempuan 69 tahun itu sudah tak lagi berdaya setelah menderita patah tulang kaki dan iga. Dia pun tak peduli dengan gerombolan lalat yang mengelilingi tubuhnya.
Satu orang di panti itu sudah tak lagi bernyawa. Pengelola panti jompo, Jean Emmanuel, bahkan khawatir akan ada lagi korban berjatuhan bila bantuan makanan dan air bersih belum juga menghampiri orang-orang tua itu.
Saat ini, pengelola panti tak bisa berharap kepada pemerintah Haiti, yang masih kalang kabut dalam mengevakuasi dan mendata korban tewas, yang kemungkinan bisa mencapai 50.000 jiwa.
"Saya kini memohon kepada siapun untuk membawa bantuan apapun. Bila tidak ada bantuan, banyak yang tidak bisa bertahan hidup pada malam ini," kata Emmanuel sambil menunjuk lima kakek dan nenek yang sudah sulit bernafas - pertanda ajal telah mendekat.
Seorang penghuni yang telah tewas adalah Joseph Julien. Dia adalah kakek berusia 70 tahun yang diketahui menderita diabetes.
Julien bisa dikeluarkan dari reruntuhan bangunan akibat gempa yang terjadi Selasa pekan lalu. Namun, dua hari kemudian, dia tidak bisa bertahan hidup karena tak ada lagi makanan.
Tubuhnya yang mulai membusuk dibiarkan terbaring di sebuah matras. Mayatnya pun tidak bisa dibedakan dengan mereka yang masih hidup.
Para warga panti yang masih bertahan kini dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Enam teman mereka sudah tewas.
Menurut pengelola, panti jompo kini mengasuh 25 pria dan 60 perempuan yang terpaksa tinggal di tenda, di sebelah rumah mereka yang sudah hancur. Beberapa warga masih bisa tidur di matras walau sudah berselimutkan debu, namun yang lain terpaksa tidur beralaskan tanah.
Jacqueline Thermiti (71) sangat berharap kepada pertolongan dari siapapun. Mereka pun sudah berhari-hari tidak makan dan tidak bisa minum air bersih. Air got pun jadi pilihan berat.
Thermiti kini bisa meramal bahwa hidupnya hanya bisa bertahan satu hari lagi bila bantuan tak kunjung tiba. "Bila orang-orang asing tidak datang (dengan bantuan), maka kami hanya bisa berserah kepada Tuhan Yesus," kata Thermiti.
sumber :http://dunia.vivanews.com
